Wednesday, June 3, 2009

Komunitas Cina Muslim : Minoritas di Antara Minoritas







Mualaf Bule bersyahadat di mesjid Cheng HoPopulasi Cina muslim terus tumbuh di berbagai kota besar di Indonesia, tapi persentasenya amat kecil. Di Indonesia, keturunan Cina banyak memeluk agama Kristen, Katolik, atau Konghucu. Pemeluk Islam dari kalangan ini sangat kecil. Mereka tersebar di berbagai kota di Indonesia. Jumlahnya tidak jelas karena tidak pernah dilakukan pendataan yang serius. Di Indonesia, komunitas Cina muslim dipayungi Yayasan Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI). Organisasi ini punya cabang di 16 kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, dan Pontianak. Jumlah Cina muslim di Indonesia tak kurang dari 80.000 orang. Mereka menjadi minoritas muslim di antara minoritas Cina. Dengan posisi seperti ini, katanya, peran mereka jarang terlihat. Tidak ada data statistik yang jelas. Peran Haji Karim Oei sangat besar. Dari tahun 1991 sampai sekarang, Masjid Lautze mengislamkan lebih dari 1.600 orang. Dua tahun terakhir, setiap minggu ada dua sampai tiga orang yang menjadi mualaf yang berikrar Islam di masjid ini.


Dengan terpatah-patah, Paulus Prasetya, 32 tahun, melafalkan surat Al-Fatihah. Setelah itu, surat Al-Ikhlas dan An-Naas dapat ia selesaikan tanpa teks. "Alhamdulillah, saya tidak perlu waktu lama untuk menghafalkannya," katanya. Ketika ditemui Gatra di Masjid Lautze, Jakarta Utara, pertengahan Ramadan ini, Paulus tengah belajar mengaji Al-Quran. Seminggu setelah memeluk agama Islam, ia rajin menghafal surat-surat pendek untuk bekal bacaan salat.

Paulus adalah salah satu jamaah Masjid Lautze. Masjid bewujud ruko itu menjadi pusat aktivitas komunitas Cina di Jakarta. Setiap hari, bujangan yang tinggal di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, itu datang ke masjid yang terletak di Jalan Lautze Nomor 87 itu untuk belajar ibadah. "Di sini saya merasa nyaman karena banyak muslim yang baru belajar seperti saya," ujarnya.


Abdul Karim Oei Pendiri Mesjid Lautze

Telah lama ia mendengar cerita mengenai keberadaan masjid yang menjadi landmark komunitas muslim Cina di Jakarta itu. Maka, ketika keinginan memasuki agama Rasulullah mendesak di benaknya, ia segera mencaritahu lokasinya. Oleh pengurus Yayasan Haji Karim Oei, yang membawahkan masjid itu, ia disyahadatkan dan diberi pembinaan agama. Kini Paulus mengaku mantap dengan kepercayaan baru yang dipeluknya dan telah menyandang nama baru, Mohammad Rizqi. "Semoga ini menjadi jalan hidup saya sampai mati," ungkapnya lirih.

Masjid Lautze adalah masjid pertama yang didirikan komunitas Cina muslim di Indonesia. Di sini, syiar Islam untuk kalangan Tionghoa disuarakan. Bangunan yang didirikan Haji Karim Oei pada 1991 itu tidak hanya menjadi tempat jamaah menunaikan salat, melainkan juga berkembang menjadi simpul silaturahmi warga muslim keturunan Tionghoa di Jakarta dan sekitarnya.

Masjid yang berada di antara deretan ruko di kawasan Pecinan ini dilengkapi perpustakaan yang mengoleksi berbagai literatur agama, termasuk Al-Quran dengan terjemahan bahasa Mandarin. Koleksi yang ada sangat membantu para jamaah yang ingin memperdalam ilmu agama.

Kini masjid empat lantai berukuran 8 x 14 meter itu berkembang menjadi semacam Islamic Center. Selain tempat ibadah dan silaturahmi, di sini digelar pula kursus bahasa Mandarin. Saban Ahad, para mualaf bermata sipit dari Jakarta dan kota-kota satelitnya menggelar pengajian. Pertemuan itu juga dimanfaatkan untuk memperdalam ilmu keislaman, karena sebagian besar anggota komunitas ini masih minim ilmu agama.


Mesjid Lautze Jakarta

Kepada Gatra, Ketua Yayasan Haji Karim Oei, Ali Karim Oei, mengungkapkan bahwa pada saat ini ada ribuan Cina muslim di Jakarta dan sekitarnya. Ia tidak bisa menyebutkan angka pastinya karena tidak ada data yang valid. Putra Haji Karim Oei itu memperkirakan, populasi Cina muslim tak lebih dari 5% populasi Cina di Jakarta. Sedangkan populasi Cina mencapai 20% dari 8 juta penduduk Jakarta.

Yang jelas, dari tahun 1991 sampai sekarang, masjid ini mengislamkan lebih dari 1.600 orang. Dalam dua tahun terakhir, kata Ali, setiap minggu ada dua sampai tiga orang yang menjadi mualaf yang berikrar Islam di masjid ini. Sebagian Cina muslim sulit ditelusuri jejaknya karena telah membaur. "Mereka menikah dengan muslim pribumi dan menghilangkan identitas Cinanya," Ali menandaskan. Di Jakarta, kelompok ini tidak terkonsentrasi di kawasan tertentu, melainkan tinggal menyebar.

Di Indonesia, keturunan Cina banyak memeluk agama Kristen, Katolik, atau Konghucu. Pemeluk Islam dari kalangan ini sangat kecil. Mereka tersebar di berbagai kota di Indonesia. Jumlahnya tidak jelas karena tidak pernah dilakukan pendataan yang serius. Di Indonesia, komunitas Cina muslim dipayungi Yayasan Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI). Organisasi ini punya cabang di 16 kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, dan Pontianak.


Logo PITI

Menurut Ketua Umum PITI, H.M. Trisno Adi Tantiono, jumlah Cina muslim di Indonesia tak kurang dari 80.000 orang. Mereka menjadi minoritas muslim di antara minoritas Cina. Dengan posisi seperti ini, katanya, peran mereka jarang terlihat.

Namun pembinaan terhadap mereka terus dilakukan oleh PITI. Organisasi inilah yang berperan besar atas penyebaran agama Islam di kalangan Tionghoa sejak 1961. Di antara dewan pendirinya adalah H. Abdul Karim Oei Tjeng Hien.

Ia seorang perintis Islam kalangan Tionghoa kelahiran Padang, 1905. Karim Oei masuk Islam pada 1929 setelah hijrah ke Bengkulu. Di sana, ia diangkat menjadi Konsul Muhammadiyah. Ketika itu, ia akrab dengan Bung Karno yang sedang dalam pembuangan. Kemudian ia menjadi salah satu pimpinan Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan setelah itu mendirikan PITI.

Berdirinya PITI tak lepas dari dukungan Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah pada saat itu, KH Ibrahim. Ibrahin mengungkapkan kepada H. Abdul Karim Oei bahwa menyampaikan agama Islam kepada etnis Tionghoa harus dilakukan oleh etnis Tionghoa sendiri.

Organisasi ini lalu dibentuk dengan kantor pusat di Jakarta. Setelah pemberontakan PKI pada 1965, simbol-simbol yang menghambat pembauran dilarang pemerintah. Pada 15 Desember 1972, PITI mengubah kepanjangannya menjadi Pembina Iman Tauhid Indonesia. Dalam melakukan pembinaan agama, PITI dibantu Yayasan Haji Karim Oei, yang mengurus masjid, perpustakaan, dan beberapa kegiatan keagamaan. Yayasan inilah yang mengelola Masjid Lautze 1 di Jakarta dan Masjid Lautze 2 yang terletak di Jalan Tamblong Nomor 27, Bandung.

Di Surabaya, syiar Islam juga bergaung di antara kaum mata sipit. Masjid Cheng Hoo, yang dibangun pada oktober 2002, menjadi sentra kegiatannya. Di ''kota pahlawan'' saja, populasi komunitas muslim Tionghoa mencapai 700-an orang. Namun jumlah ini masih belum sepadan dengan populasi Cina di Surabaya yang mencapai 6.000 lebih.


Acara buka bersama dgn masyarakat di Mesjid Cheng Ho

Pendiri Yayasan Haji Muhammad Cheng Hoo, Haji Abdul Halim Muhammad alias Li Guang Lin, mengungkapkan bahw Surabaya merupakan basis muslim Tionghoa yang perkembangannya tercepat di Indonesia. Populasi di Surabaya yang kini mencapai 700 terus berkembang. Setiap tahun, ada sekitar 30 mualaf baru yang bergabung. Sejak Yayasan Cheng Hoo berdiri, penyebaran agama Islam di komunitas Cina Surabaya makin baik. Dalam satu bulan, katanya, jumlah mualaf yang direkrut sebanyak satu sampai empat orang.

Masjid Cheng Hoo juga punya fungsi ganda. Selain tempat ibadah, masjid beraksitektur kelenteng ini menjadi tempat pengajian dan pembinaan mualaf. Di masjid yang terletak di Jalan Gading III itu, ibadah dijalankan dengan menganut pakem umum, tidak masuk paham keormasan tertentu, seperti NU, Muhammadiyah, Syiah, ataupun Wahabi.

Hal itu dilakukan, kata Halim, agar komunitas ini diterima semua kalangan. Salat tarawih, misalnya, dilakukan delapan rakaat, lalu diteruskan hingga 20 rakakat. ''Jamaah boleh memilih yang diyakininya,'' ujar lelaki yang masuk Islam pada 1982 itu.

Cina muslim di seluruh Jawa Timur juga tak lepas dari pembinaan PITI. Di kawasan yang merupakan basis kalangan nahdliyyin ini, organisasi itu tumbuh cukup pesat. Pada saat awal berdiri, tahun 1983, anggota PITI Jawa Timur hanya sekitar 50 orang. Namun sekarang mencapai lebih dari 8.000, yang tersebar di 26 cabang di berbagai kabupaten.

Cina muslim di Surabaya boleh dibilang paling dinamis. Selain persentase pertambahan anggotanya paling tinggi, ia kaya program, terutama sosialisasi dan pembauran. Cina muslim Jawa Timur juga pintar membaur. Dalam setiap kegaitan, Masjid Cheng Hoo selalu melibatkan warga lokal. Misalnya peringatan Nuzulul Qur'an, donor darah, dan pengobatan tradisional Cina.

Tahun lalu, PITI Jawa Timur memberikan bantuan bibit jarak kepada 84 pesantren di Jawa Timur. Penandatanganan kerja samanya dilakukan di Pesantren Langitan, Tuban, milik tokoh NU karismatik, KH Abdullah Faqih. Di Jawa Timur, masyarakat muslim keturunan Tionghoa diberi kebebasan mengikuti organinasi sosial kemasyarakatan maupun partai politik. Hubungan antara PITI dan Jamiyah Nahdlatul Ulama tampaknya cukup dekat. Selain sering bekerja sama dalam kegiatan, anggota PITI juga ada yang menjadi pengurus NU.

Halim, misalnya, kini menjabat sebagai Wakil Ketua Lembaga Perekonomian PWNU Jawa Timur, Wakil Ketua Cabang NU Taman, Sidoarjo, dan penggurus MUI Jawa Timur.

Lain Surabaya, lain pula Medan. Di kota ini, komunitas Cina muslim tidak dinaungi PITI. Komunitas ini dipayungi Himpunan Pembauran Muslim Tionghoa Indonesai (HPMTI), yang didirikan Hj. Maimunah pada 1983. Hj. Maimunah adalah Cina muslim pertama yang punya kesadaran berorganisasi. Pada 1980-an, ia bersepeda motor mendatangi rumah-rumah Cina muslim di Medan dan sekitarnya untuk mengajak berkumpul.

Kumpulan itu lalu diformalisasi menjadi HPMTI, yang kantornya mengambil ruangan di rumah Hj. Maimunah di Jalan Mahkamah, Medan. Hj. Maemunah meninggal dua tahun lalu, tapi rumahnya tetap menjadi sekretariat HPMTI. Lembaga ini sampai sekarang menjadi tempat berkomunikasi dan berbagi di antara Cina muslim di Medan. Komunitas itu memiliki jadwal tetap untuk pengajian rutin bulanan dan arisan.

Bendahara HPMTI, Nuraini alias Wong Sueng, 48 tahun, mengungkapkan bahwa organisasinya merupakan lembaga yang secara tradisional mengikat Cina muslim di Medan. Di Sumatera Utara, lembaga inilah yang pertama kali muncul, sehingga PITI yang cukup dikenal di Jawa kurang mendapat tempat.

Pada saat ini, menurut catatan lembaganya, populasi Cina muslim di Medan mencapai 1.000 keluarga. Ini angka yang kecil, mengingat komunitas Cina di sana mencapai 20% dari sekitar 2,3 juta penduduk kota Medan. Kepada Gatra, Nuraini mengatakan bahwa minimnya jumlah Cina Medan yang masuk Islam karena masih sangat kuatnya stigma bahwa Islam adalah agama yang kasar dan menakutkan.

Inilah jawaban mengapa selalu timbul resistensi cukup kuat terhadap warga Tionghoa yang masuk Islam, baik dari keluarga maupun lingkungannya. ''Biasanya mualaf baru akan ditolak komunitasnya,'' katanya. Pada saat ini, HPMTI mendambakan kantor dan masjid milik sendiri yang menjadi pusat aktivitas. Selain untuk tempat ibadan, tempat itu diharapkan menjadi pusat syiar Islam di kalangan Tionghoa.

Di Medan, Cina muslim sulit berpisah dari tradisi leluhurnya. Salah satu ritual lama yang masih mereka lakukan adalah ziarah kubur ketika Cheng Beng. ''Mayoritas anggota kami masih ikut Cheng Beng untuk menghormati leluhur. Ini adat, jadi sulit hilang,'' katanya. Cina muslim ikut berpartisipasi, meskipun tidak ikut sembahyang dan membakar hio.

Sejak kejatuhan rezim Orde Baru, masyarakat Cina muslim di Indonesia lebih terbuka dan leluasa dengan identitas budaya dan agamanya. Demikian menurut dosen Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, yang juga mahasiswa program doktor Universitas Queensland, Akhmad Muzakki. Di Surabaya dan kota-kota lain di Indonesia, Cina muslim merupakan minoritas di antara minoritas (minority within minority). "Pada era Orde Baru, kaum Cina hanya berkecimpung dalam kegiatan ekonomi. Tapi sekarang, mereka leluasa melakukan eksplorasi budaya dan mendemokan ritual agamanya," ujarnya.

Dalam karya tulisnya bertajuk "Masjid Cheng Hoo: Pribumisasi Budaya Cina dan Distansiasi dari Hegemoni Politik Negara di Indonesia", ia memaparkan bahwa kehidupan masyarakat Cina muslim di Surabaya lebih terbuka tanpa hegemoni negara. Keterbukaan itu, misalnya, dapat dilihat pada gaya arsitektur Masjid Cheng Hoo yang mereka dirikan.

Masjid yang dibangun dengan biaya Rp 700 juta itu sangat menarik, karena masyarakat Cina muslim tidak sekadar menampilkan kemuslimannya, melainkan juga menunjukkan identitas kultural kecinaannya. Di Surabaya, kata Muzakki, Cina muslim berkolaborasi dengan berbagai organisasi kemasyarakatan Islam, terutama NU dan Muhammadiyah, untuk memudahkan mereka menyalurkan aspirasi.

Berelaborasi dengan ormas itu dianggap penting, karena eksistensi kelompok ini akan lebih mudah dilihat dan aspirasinya lebih mudah didengar para birokrat bila kepentingan mereka disuarakan juga oleh ormas.

Mujib Rahman, Sulhan Syafi'i (Bandung), M. Nur Cholish Zaein (Surabaya), dan Rosul Sihotang (Medan)
[Komunitas Pendatang Islam, Gatra Edisi Khusus Beredar Kamis, 2 Oktober 2008]
http://gatra.com/2008-10-11/artikel.php?id=119252



















Mesjid Cheng Ho




No comments:

Post a Comment